Manusia Silver

Kamis, 20 Juli 2023 12:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sambil terus melukis tetap kuawasi bocah kecil nakal itu, siapa tahu ia berbuat aneh-aneh lagi. Biarin lah dia lari-larian terus, yang penting nggak nyentuh barang-barang kesayanganku. Lagian percuma diingetin itu anak. Bandel nian.

Bocah kecil umur tiga tahunan yang tengah berlari-larian itu bernama Radit. Anak dari Mbak Yuni tetangga kost-ku.

 

"Dit! Jangan lari-larian mulu, dong. Mas lagi fokus kerja ini," teriakku kepada bocil berambut jarang itu.

 

Menyebalkan, dari tadi dia lari-larian terus nggak mau berhenti, sehingga konsentrasiku yang tengah menyelesaikan lukisan pesanan sedikit terganggu.

 

Ia hanya menoleh sekilas kepadaku, lalu lanjut lari-larian lagi.

 

Aku mengusap wajah. Menyebalkan. Sedikit menyesal, kenapa pula tadi aku mengiyakan saja ketika Mbak Yuni titip Radit. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai tetangga masa iya harus menolak, lagi pula aku memang mengerjakan pekerjaan sampinganku di rumah. Jadi, aku nggak punya alasan untuk menolaknya.

 

"Sebentar saja, kok, Mas Seno. Titip Radit dulu, ya. Mau belanja kebutuhan bulanan," kata Mbak Yuni siang tadi ketika hendak menitipkan Radit.

 

'Sebentar apaan, tar paling juga pulang habis Magrib,' grundelku. Memang selalu begitu dia. Nggak hanya sekali dua kali titip Radit. Alasan saja pergi belanja, padahal sibuk pacaran dengan cowok yang entah kenal di mana. Aku tahu karena Mbak Yuni selalu diantar-jemput cowok dengan rambut jabrik itu ke mana-mana.

 

Bapaknya Radit sudah lama meninggal, sejak ia kecil. Jadi, ia anak yatim sekarang. Itulah kenapa aku selalu tidak bisa menolak jika dititipi Radit. Hitung-hitung membantu ngemong anak yatim.

 

"Dit, awas tar kena catnya, loh! Jangan lari-larian lagi. Sana nonton kartun aja!" seruku lagi kepada Radit.

 

"Nggak mau, ah, Om. Ladit pengen lali-lalian ajah," ujarnya cadel.

 

"Ya sudah, tapi jangan sampai nyenggol cat, ya. Jangan berisik juga!" tegasku mengingatkan, lalu melanjutkan lukisanku lagi.

 

"Om, ayo main bola," kata Radit beberapa saat kemudian.

 

Aku menoleh kepadanya.

 

Astaga! Kalian tahu apa yang dimaksud Radit dengan bola itu? Dia hendak meraih lampu kristal pajangan di atas meja kerjaku.

 

"Eh, eh, eh, itu bukan bola. Jangan dipegang-pegang gitu, ntar pecah," teriakku panik.

 

Lampu kristal itu aku dapatkan di toko barang antik waktu jalan-jalan ke Malioboro dulu. Harganya mahal.

 

Namun, Radit seperti tak mengindahkan seruanku. Ia tetap meraih-raih bola itu. Kakinya jinjit-jinjit, terlihat tengah bersikeras untuk bisa memegangnya.

 

"Radit!" teriakku. Terpaksa aku mendatanginya.

 

Aku angkat bocah nakal itu dari pinggir meja, "Itu bukan bola, Dit. Nakal banget, sih, kamu!"

 

Dia malah cengengesan, merasa tak berdosa aku marahi begitu rupa.

 

"Ayo, kamu nonton kartun saja," rayuku sembari mendudukan dia di karpet. Aku segera meraih laptop di meja dan kutempatkan di depan Radit. Kusetel kartun Spongebob.

 

"Ga, mau, ah, Om. Ga selu," ujarnya sambil berontak dan geleng-geleng.

 

Aku cekal badannya dan aku paksa menonton. Kepalanya aku arahkan ke layar laptop.

 

"Itu, loh, bagus. Ada film baru Spongebobnya," tukasku.

 

Ketika memegang kepalanya, sekilas aku lihat kepala Radit. 

 

Oalah pantesan nakal nian ini anak. Pusar kepalanya ada empat rupanya. Aku menelan ludah sebentar. Sangat meresahkan dunia persilatan ini kalau dibiarkan sampai besar nanti.

 

"Ini loh nonton aja. Bagus kartunnya," kataku memaksa lagi. "Kerjaan Om masih banyak, Dit." Aku berkata dengan nada memohon agar ia mengerti perasaanku, bahwa aku harus segera menyelesaikan lukisan pesanan itu dan segera dapat upah.

 

Sekilas dia menatapku sebentar. Tapi dasar anak kecil, mana paham masalah gituan.

 

"Gak mau, Om. Ladit ga cuka!" Lalu dia bangkit dan berlari-lari lagi di ruangan.

 

Aku menyerah. Ya sudahlah terserah. Aku pasrah.

 

"Tapi jangan berisik, ya. Jangan sampai numpahin cat," tegasku mencoba mengingatkan lagi.

 

Dia tidak menjawab. Dan terus berlari-larian sambil cengengesan. Menyebalkan memang. Mau tak mau aku membiarkan saja. Dah lah. Lalu aku mulai melanjutkan pekerjaan lagi.

 

Sambil terus melukis tetap kuawasi bocah kecil nakal itu, siapa tahu ia berbuat aneh-aneh lagi. Biarin lah dia lari-larian terus, yang penting nggak nyentuh barang-barang kesayanganku. Lagian percuma diingetin itu anak. Bandel nian.

 

"Om!" 

 

Aku melonjak kaget ketika tiba-tiba kepala Radit muncul di samping wajahku. Sejak kapan dia di sini? Lalu dia gelendotan di punggung dengan tangan melingkar di leherku.

 

"Astaga Radit. Om lagi fokus kerja ini. Jangan kayak gitu dong!"

 

"Om gambal apaan, cih? Ko jelek gitu."

 

Benar-benar ini bocah. Sudah ngerecokin pakai ngatain pula.

 

Sebentar, aku ingin membenarkan cara dia memanggilku dulu.

 

"Jangan panggil Om dong Dit. Panggil Mas. Om itu kalau orangnya sudah punya anak baru panggil Om. Kaya Om Andi atau Om Kusno, itu boleh manggil Om. Mas kan belum nikah juga ngapain panggil Om."

 

Yang kusebut sebagai contoh tadi adalah tetangga kost kami juga. Mereka tinggal di sini bersama istri dan anak-anaknya.

 

Namun, Radit masih terus gelendotan di punggungku.

 

"Oh, gitu, ya, Om?"

 

"Kan, Om lagi!" sungutku dengan kesal. "Panggil Mas, Dit. M-A-S! MAS! Bukan Om!"Aku mengeja agar ia mengerti.

 

Bukan apa-apa. Aku risih aja dipanggil Om. Serasa langsung berubah jadi om-om genit berkumis tebal sebesar ulat bulu obesitas dan berperut buncit lengkap dengan senyum mesumnya. Padahal aku masih belum nikah, kawinnya aja yang udah, eh.

 

Diam-diam aku bergidik sendiri membayang aku jadi seperti itu.

 

"Ah, gak mau, ah. Enakan manggil Om …," kata Radit lagi.

 

"Wis karepmulah, Dit. Dah sana jangan gelendotan kayak gitu. Mas mau kerja ini," kataku sambil mencoba melepaskan tangan Radit yang melingkar di leherku.

 

Lalu bocah itu melepaskan pelukannya dan berlari lagi. Aku menghembuskan napas lega. Sepertinya dia calon atlet lari nanti kalau sudah besar, batinku. Lari-larian mulu kerjaannya dari tadi.

 

Aku awasi ke mana ia berlari. Ternyata ia berlari di arah laptop. Masih terputar di sana film Spongebob yang aku setel tadi. Kali ini ia lihat-lihat kartun itu. Syukurlah, mungkin dia sudah capek lari-larian, batinku.

 

Aku melanjutkan lukisan lagi.

 

Belum ada 5 menit aku kerja, tiba-tiba kudengar suara Radit lagi.

 

"Om, Radit lapel."

 

Aku menaruh kuas lukis. Lalu menghirup napas dalam-dalam sembari mata terpejam. Mencoba menahan sabar, agar aku tidak menghancurkan dunia saat ini juga.

 

Aku bangkit. Mencoba mencari makanan apa saja di kulkas. Tapi sepi. Yang ada hanya air putih dan dua bungkus mie instan di sana. Maklum anak kost-an. Mahasiswa kere sepertiku yang hanya mengandalkan pemasukan dari melukis, yang ada kadang tidak, membuatku harus berhemat dari segi apapun.

 

"Mas nggak ada makanan, Dit. Mau Mas bikinin mie rebus, gak?" tawarku.

 

"Adit ga cuka mie, Om. Maunya es klim!"

 

Aku mengusap wajah. 'Gak hanya kamu, Dit yang mau. Aku juga,' batinku.

 

Aku merogoh kantong bajuku. Di sana ada uang kembalian pas beli rokok tadi. Hanya sisa beberapa puluh ribu saja. Ini uang buat aku makan sebenarnya sore ini, sampai aku bisa menyelesaikan lukisan dan dapat upah lagi nanti malam.

 

"Om, mau es klim!" rengeknya lagi sambil memandangku dengan tatapan polos khas anak kecil.

 

Aku trenyuh. "Ya sudah, Mas beliin. Tapi janji, ya, nanti jangan gangguin Mas lagi. Jangan lari-larian lagi. Nonton film aja, ya."

 

Radit hanya mengangguk.

 

Aku mengajak Radit ke warung sebelah kost, di sana aku beli satu potong es krim buat Radit. Lalu aku gendong pulang. Kulihat girangnya bukan main dia.

 

Usai sampai kost lagi, Radit terlihat anteng. Tampaknya Radit memenuhi janjinya untuk tidak lari-larian. Ia anteng nonton Spongebob sambil menikmati es krim di tangannya. Tampak tangan dan mulutnya belepotan.

 

Aku mulai mengerjakan lukisan lagi. Tapi dugaanku bahwa Radit nggak akan ceriwis lagi rupanya salah. Setelah ia habiskan es krimnya, ia mendekatiku. Kini malah melihat-lihat lukisanku.

 

"Awas jangan nyenggol cat, Dit, tar tumpah!" tegasku mengingatkan. Karena di sekelilingku penuh dengan cat-cat buat bahan melukis. Kalau tumpah bisa repot urusannya.

 

"Om, Ladit mau bikin gituan juga, dong," katanya.

 

Aku memandang wajah polosnya. Lalu berpikir sebentar. Ada sesuatu yang aku pikirkan.

 

Aku mengambil potongan kain lukis yang tidak kepakai dan kuas bekas. Lalu menyerahkan ke Radit. 

 

"Ya sudah, kamu gambar aja. Terserah mau gambar apaan," kataku. Berharap semoga dia lebih anteng kali ini dengan sibuk menggambar. Karena aku tengah berpacu dengan waktu, nanti malam lukisan pesanan ini harus sudah jadi.

 

Radit hanya mengangguk-angguk. Lalu mulai menggambar entah apa. Sambil sesekali mencelupkan kuas di wadah cat yang aku sediakan.

 

Aku senang. Radit lebih anteng sekarang. Lukisanku hampir selesai. Sampai kemudian seperti ada sesuatu yang aneh. Kudengar Radit tertawa-tawa sendiri. 

 

Astaga naga percona hamil anak lima! Aku lihat di tangannya belepotan cat. Ternyata dia tidak hanya melukis kain, tapi tangannya juga ia lukis.

 

"Aduh Radit. Belepotan, kan," teriakku. Tapi dia tetap menggerakkan kuas yang penuh cat silver itu di tangannya.

 

Aku kesal. Tapi kemudian jiwa isengku muncul. Aku jadi ingat orang-orang di pinggiran lampu merah itu.

 

"Dit, sini," Aku tersenyum penuh arti.

 

Aku raih kuas di tangannya, lalu tanpa sadar malah membantu Radit meluaskan kuas cat itu di tangannya. Kami sama-sama tertawa. Radit girang luar biasa. Aku semakin iseng dan tanpa sadar, kini nggak hanya tangannya saja yang penuh cat silver, tapi sudah sampai ke wajahnya. Aku cekikikan, Radit kegirangan.

 

Sampai kemudian keasyikan kami harus terhenti.

 

"Radit …." 

 

Terdengar seseorang memanggil dari luar. Suara yang sudah aku kenal. Ibunya Radit, Mbak Yuni. 

 

"Ayo pulang."

 

Modiar! Aku gugup, melihat kondisi Radit kini sudah jadi manusia silver.

 

"Astaga Radit! Apa-apaan kamu, Nang!" Kepalanya Mbak Yuni sudah keburu melongok di pintu kost-ku sebelum aku punya jawaban atas situasi yang tengah terjadi.

 

"Astaga! Kamu apain, Radit, Mas Seno. Ya ampun!" Wajah Mbak Yuni tampak shock. Aku bingung harus bilang apa. Sedangkan Radit terlihat seperti ketakutan sekali kali ini.

 

"Tadi Om Ceno, Mah, yang maksa buat gambarin Ladit, padahal Ladit gak mau, tapi dipaksa-paksa," kata Radit dengan raut polos tak berdosa.

 

Aku menengok ke arah Radit. Melototinya. 'Maksa gundulmu itu, Dit Dit,' batinku kaget. Aku tak menyangka jika bocil itu akan berkata begitu rupa.

 

***

 

Tamat.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asmaraloka Dewangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pahlawan

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB
img-content

Nggak Bahaya, Ta?

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua